Menjadi anak desa tentu tak bisa dipisahkan dari pengalaman-pengalaman menjijikkan, khususnya mungkin bagi orang kota. Pengalaman yang satu ini bahkan masih tergolong menjijikkan untuk diriku sendiri yang adalah anak desa.
Seperti telah kuceritakan sebelumnya di Nostalgia Berburu Kembang Turi, pada masa SD-ku, pohon turi ditanam di depan rumah-rumah warga, tertata rapi berjajar sepanjang kali. Selain bunga turi, pohon turi ini juga menyimpan harta karun lain bagi para anak desa. Dan harta karun itu tak lain adalah ulan-ulan. Ulan-ulan adalah semacam larva ulat pohon turi yang biasanya sebesar dan sepanjang telunjuk tangan orang dewasa.
Ulan-ulan ini biasanya hidup di dalam batang pohon turi, dekat dengan akar. Ulan-ulan ini bisa disebut hama karena pohon yang diserang biasanya tidak lagi produktif. Dengan alat seadanya, pisau dan ranting-ranting turi, anak-anak desa akan dengan bersemangatnya memburu ulan-ulan ini. Hal ini telah menjadi tradisi bagi bahkan mungkin buyut-buyut mereka. Dan aku tak ingat pasti apakah ulan-ulan ini mengenal musim. Yang jelas, sangat mudah menandai pohon yang mengandung ulan-ulan. Lihat saja pada pangkal batangnya: jika ada lubang atau keluar getah, dipastikan di dalamnya ada ulan-ulan. Pada satu batang, biasanya ada sekitar 1-3 ekor ulan-ulan.
Sebagai anak dari keluarga menengah ke atas, aku tak begitu familiar dengan tradisi berburu ulan-ulan ini. Namun, karena banyak tetanggaku yang sering mengajakku, aku kerap mengikuti segerompolan anak desa yang tak jarang dipimpin oleh seorang anak lelaki yang sudah SMA, dan bahkan kadang seorang tetangga lelaki yang berusia 40-an itu, untuk mencari ulan-ulan di pinggiran kali.
Dengan alat seadanya seperti yang kubilang tadi, pemimpin gerombolan akan berjongkok di tanah. Kami yang kecil-kecil hanya akan melongok dari belakang. Aku yang paling tak berpengalaman agak deg-degan juga karena ulan-ulan masih dan masih selalu menjijikkan menurutku.
Bagian bawah pohon turi yang dekat tanah, yang terlihat berlubang atau bergetah, akan dilukai dengan pisau. Setelah ada cukup jalan dan beberapa bagian kambium dihilangkan, akan terlihat semacam liang kecil. Liang inilah tempat bersembunyi si ulan-ulan. Dengan bantuan ranting-ranting, tangan terampil pemimpin kami akan mulai membersihkan bagian-bagian kayu yang tampak gembur hingga membentuk lorong kecil. Dengan ranting pula, ulan-ulan didesak-desak agar mau keluar dari ujung lubang satunya. Ulan-ulan yang terancam oleh desakan ranting akan berusaha keluar liang. Pada tahap ini aku sudah mulai mual. Aku selalu tak siap melihat bentuk ulan-ulan yang mempunyai tubuh gemuk gilig panjang berbuku-buku dengan warna putih susu dan moncong yang agak kemerahan itu. Warna putih ini juga menunjukkan bahwa hewan ini mempunyai kandungan protein yang tinggi.
Ketika si ulan-ulan telah terlihat dan mencapai ujung liang, tangan terampil pemimpin kami itu akan mengambilnya dan meletakkannya di wadah yang telah dipersiapkan, bisa daun pisang atau apa saja. Ulan-ulan akan menggeliat-geliat ketakutan di atas tempatnya yang baru. Aku semakin mual.
Setelah dipastikan tak ada lagi ulan-ulan lain di liang itu, kami akan berpindah ke pohon lain. Dan begitu ulan-ulan yang didapat sudah cukup banyak, kami akan berkumpul di pinggir jalan, duduk bersila seperti layaknya orang selamatan.
Rumput-rumput kering dan ranting turi dikumpulkan dan dibakar. Sementara itu, salah seorang lainnya tengah mempersiapkan si ulan-ulan. Aku tak pernah tega melihat proses pembunuhan dan pembuangan kotoran dan beberapa bagian tubuh yang tak diperlukan dari ulan-ulan tersebut (atau istilahnya 'mbetheti' dalam bahasa Jawa). Aku baru berani melihat ketika beberapa ulan-ulan tak bernyawa itu sudah berada dalam kobaran api kecil yang dibuat teman-teman yang lain. Dan sampai sejauh itu, aku hanya jadi penonton, sementara yang lain tengah celegukan tak sabar menunggu ulan-ulan bakar matang.
Ketika dirasa telah cukup matang, ulan-ulan diangkat ke dalam wadah dan siap disantap. Aku biasanya (lagi-lagi) hanya akan menjadi penonton ketika teman-teman mulai melahap ulan-ulan bakar yang masih panas itu. Namun, suatu hari, yang mungkin bisa dikatakan sebagai hari tersial bagiku, seorang teman yang 3 atau 4 tahun lebih tua dariku menarikku mendekat dan memaksaku untuk makan. Dia mengatakan bahwa paling tidak seumur hidup aku harus mencoba sekali. Akhirnya aku pun menyerah dan memilih menuruti paksaannya.
Namun, bahkan untuk meraih ulan-ulan bakar panas itu saja aku tak sanggup. Seorang teman yang lainlah yang akhirnya mengambilkan untukku. Dengan kedua tangannya dia memegang ujung-ujung badan ulan-ulan yang telah agak gosong itu, dan menyobeknya menjadi dua bagian. Bagian dalam tubuhnya yang putih seperti susu menyeruak menyemburkan uap panas.
Tangan temanku menyorongkan salah satu sobekan ulan-ulan itu ke arahku. Kutiup-tiup agar lidahku tak terbakar. Dan ketika sobekan itu masuk mulutku, aku langsung menelannya cepat-cepat sebelum muntah. Aku bahkan tak tau bagaimana rasanya. Membayangkannya lagi saja sekarang masih bisa membuatku mual. Yikes!
No comments:
Post a Comment