Salah satu hal yang paling kuingat dari pengalaman menjadi anak desa adalah fungsi pematang sawah, atau yang dalam bahasa daerahku disebut galengan, yang begitu penting dalam kehidupanku khususnya sebagai seorang pelajar. Pematang sawah pada umumnya berfungsi sebagai pembatas antara sawah milik A dan B. Pematang berbentuk membujur dan melintang, membentuk petak-petak sawah sesuai dengan luas yang dimiliki oleh masing-masing pemilik.
Dalam kehidupan kami anak desa, pematang sawah mempunyai nilai historik tersendiri yang sulit dilupakan bahkan ketika kami sudah tak lagi tinggal di desa. Bagi kebanyakan anak desa yang tak mempunyai sepeda, kami harus cerdik-cerdik mencari solusi agar bisa sampai ke sekolah melalui jarak terpendek. Selain untuk menghemat waktu, hal ini tentunya juga untuk menghemat tenaga yang nantinya akan kami gunakan selama jam pelajaran dan juga untuk bermain selama jam istirahat.
Di depan rumahku di Dusun B, terdapat sawah yang memanjang di sepanjang jalan, dari timur ke barat. Sementara itu, sekolahku terletak di sisi selatan, di dusun seberang sawah. Jika kebetulan diantarkan Bapak atau Ibu atau Mbak dengan menggunakan motor, aku bisa sampai ke sekolah dalam waktu 10 menitan melalui jalan umum. Jika berjalan kaki, waktu ini bisa molor menjadi 20-30 menit.
Kalau tak salah ingat, hanya ada kurang dari 15 anak dusunku yang bersekolah di sekolah tersebut. Rata-rata dari kami waktu itu tidak memiliki sepeda (aku baru membawa sepeda ketika kelas 4, kalau tak salah ingat). Nah, untuk memperkecil jarak antara rumah dan sekolah, kami memilih untuk menggunakan pematang sawah sebagai jalur transportasi.
Pada musim kemarau, berjalan melewati pematang tentu hal yang sangat mudah. Tanah pematangnya keras dan tidak licin. Dan walaupun terpeleset, kami masih akan berada di lahan sawah yang kering. Saking keringnya, bahkan kadang kami bisa berjalan di lahan sawah yang tidak ditanami.
Pada musim penghujan, lain lagi ceritanya. Pematang-pematang menjadi licin. Apalagi jika empunya sawah sedang memperbaiki pematangnya dengan menambahkan lumpur sawah (endhut) untuk memperkokoh pematangnya. Lumpur sawah ini membuat pijakan kami di pematang terasa tak solid. Jika hujan baru saja turun, atau kadang-kadang juga turun pada saat kami tengah menyeberang, bisa dibayangkanlah betapa licinnya pematang tersebut.
Beberapa akan memilih untuk melepas sepatu dan menjinjingnya. Pijakan kaki yang langsung menapak pada pematang terasa lebih menentramkan jiwa kami. Apalagi, berdasarkan ilmu dari para kakak kelas, agar tidak terpeleset kami bisa mencengkeramkan jari-jari kaki kami pada pematang, seolah sedang berpegangan. Jurus ini lumayan manjur. Aku hampir tak pernah terpeleset ketika menyeberang.
Tak jarang kami berangkat bebarengan satu dusun, berduyun-duyun rapi di sepanjang pematang yang membujur dari utara ke selatan. Biasanya para tetua akan berada di depan memimpin jalan, dan kami para adik-adik akan berada di belakang, mengekor pada yang sudah berpengalaman. Kalau kebetulan pematang di depan kami benar-benar tak bisa dilewati, pemimpin akan berinisiatif untuk membelok ke kiri atau ke kanan.
Nanti, di depan sana, untuk mencapai jalan, kami harus menyeberangi satu jembatan super kecil (wot-wotan) yang terbuat dari satu bilah potongan kayu atau bambu. Dan bila sudah berada di jalan, kami semua akan merasa lega dan siap melanjutkan perjalanan beberapa langkah menuju sekolah.
Namun, sering pula ada penyeberang pematang yang sedang sial dan terpeleset lalu tercebur ke lumpur. Ada yang nyantai dan meneruskan untuk tetap sekolah (karena nanti baju yang kotor bisa dibilas di sumur sekolah), ada pula yang nangis ngambek dan memilih untuk berbalik pulang. Kadang-kadang kami yang tidak jatuh malahan menertawakan.
Yah, bagaimanapun, terjatuh atau tidak, perjalanan meniti pematang sawah untuk mencapai sekolah merupakan salah satu hal yang paling menguatkanku sebagai seorang anak desa.
No comments:
Post a Comment