Friday, December 12, 2014

Toilet yang Bikin Krisis

Soal toilet pun bisa membuat krisis bagi anak desa macam aku. Anak desa yang tak jelas identitasnya. Jika tinggal di desa aku terlalu modern. Jika tinggal di kota, aku terlalu katrok.

Masalah terjadi ketika aku harus pindah ke Surabaya, sebuah kota yang megahnya 20 kali lipat atau bahkan lebih dari desaku. Menghabiskan masa 6 tahun sekolah di Tulungagung juga tak banyak membantu karena Tulungagung dan desaku masih banyak kesamaan.

Lalu bagaimana toilet bisa menjadi krisis?

Begini, dalam kehidupanku sampai berumur 19 tahun, hanya toilet jongkok yang pernah kupakai. Biasanya terbuat dari keramik yang bagus atau dari tegel yang berkesan jadul. Toilet seperti inilah yang menemani masa kecil hingga remajaku.


Di desa, sebenarnya masih banyak 'toilet tradisional' tapi aku sebagai anak dari keluarga guru--keluarga berada di kalangan desa--tidak sempat merasakan nikmatnya buang air di 'toilet tradisional' yang terbuat dari gundukan tanah yang diberi lubang ala kadarnya. Tetanggaku semua yang tak mempunyai toilet, pasti mempunyai toilet tradisional seperti ini, yang biasanya terletak di tegalan atau bahkan lebih jauh mendekati hutan di belakang rumah. Toilet tradisional ya hanya tempat pembuangan. Tak tersedia air untuk membersihkan diri. Begitu selesai dengan hajat, celana dipakai lagi tapi tak sampai menyentuh bagian yang masih kotor. Setelah sampai di kamar mandi rumah, barulah orang tersebut membersihkan diri.

Sekali dua aku pernah terjebak dan terpaksa menggunakan toilet tradisional ini. Rasanya mendebarkan karena aku tak biasa. Untung ya memang cuma dua kali. Dan tidak akan kuulang seumur hidupku, aku janji.

Toilet rumahku jauh dan jauh lebih nyaman dari itu. Terbuat dari keramik berwarna biru, tempat ini menjadi tempat perenungan yang nyaman. Sampai usia 19 tahun, ya hanya toilet macam itu yang aku tahu.

Usia 19 tahun ketika aku kuliah di Surabaya, semua serba berbeda. Seperti kubilang tadi, toilet bentuk baru ini sempat membuat krisis. Aku harus dihadapkan dengan toilet duduk seperti yang sering kulihat di tv.

Terbuat dari bahan keramik putih yang mewah dengan tombol berwarna perak. Lalu di sampingnya ada selang. Selang apa itu? Aku deg-degan ketika harus masuk ke toilet dan mendapati toilet duduk untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Bagaimana caranya? Aku tak pernah di-training untuk menggunakan benda-benda modern seperti ini. Waktu itu, barang seperti ini belum bisa ditemukan di desaku.

Kuambil selang itu dan kuamati. Dan ketika kupencet semacam jetrekan di ujung selang, air membuncah ke pintu kamar mandi. Untung tak mengenai wajahku. Aku baru tahu bahwa air itu digunakan untuk membersihkan diri.

Kelak, setiap kali masuk ke toilet baru, seperti di daerah perkantoran, mall, dan tempat umum lainnya, aku selalu menyempatkan diri untuk meneliti toilet macam apa itu. Dimana letak tombol penyiramnya? Tombol-tombol ini letaknya berbeda-beda pada merk kloset yang berbeda-beda. Bagaimana pula harus membersihkan diri? Kadang letak air pemancar berubah-ubah: ada yang melalui selang seperti yang kuceritakan di awal, ada yang melalui pipa sangat kecil di bawah dudukan kloset yang airnya dikendalikan dengan tombol, ada pula toilet kering yang tak ada airnya dan hanya menggunakan tisu untuk membersihkan diri (yang selalu kuhindari bagaimanapun karena kupikir itu super menjijikkan dan tidak Indonesia banget).

Mungkin aku sudah lumayan menjadi anak kota sekarang. Toilet macam apapun aku sudah terbiasa. Bahkan toilet terjorok sekalipun. Hahahaha...

No comments:

Post a Comment