Lebaran selalu menjadi cerita menarik, dimanapun. Di desa atau di kota, sama saja. Berpamer baju baru tentu bukan lagi fenomena baru.
Namun, bukan itu yang ingin aku ceritakan mengenai momen lebaran di desa. Dan sepertinya ini memang hanya terjadi di desa saja, meskipun aku tak bilang bahwa hal ini hanya ada di desaku.
Lodho. Semua bermula dari makanan ini.
Lodho adalah semacam masakan ayam opor khas dari daerah Trenggalek dan Tulungagung. Ayam yang digunakan biasanya adalah ayam kampung. Biasanya ayam dipanggang utuh setelah ditusuk sedemikian rupa dengan bambu agar nantinya ayam bisa matang dengan merata. Kegiatan membolak-balik ayam, dulu, adalah hal yang tak akan dipercayakan Ibu kepada siapapun. Bahkan tidak kepada Bapak sekalipun. Namun, seiring perkembangan waktu, dan semakin bertambahnya jumlah anggota keluarga sebagai efek dari pernikahan anak-anaknya, Ibu sekarang lebih suka memesan ayam kampung panggang pada salah seorang penjual di pasar desa sebelah.
Ayam ini kemudian akan dipotong-potong dan dimasukkan ke dalam kuah dari santan yang telah dicampur bumbu dan dimasak sedemikian rupa. Setelah matang, lodho siap dinikmati bersama nasi hangat dan sayur hijau. Nyam nyam.
Khusus pada hari lebaran, baik Idul fitri maupun Idul Adha, ayam panggang tadi tidak lantas dipotong-potong. Aku tak begitu paham bagaimana proses memasaknya, yang jelas ayam panggang itu utuh, tidak disajikan bersama kuah, dan rasanya tetap enak berbumbu.
Sebelumnya, Ibu mempersiapkan sebuah ember, yaitu semacam baskom lumayan besar yang terbuat dari besi. Dia akan memberi alas daun pisang beberapa lembar. Daun ini selain untuk alas, bisa pula dipakai sebagai pengganti piring nantinya. Di atas daun pisang akan dimasukkan nasi gurih lumayan banyak. Setelah dialasi lagi dengan daun pisang, seekor ayam panggang utuh akan ditaruh diatasnya. Hmm, begitu menggoda.
Sebuah taplak meja akan digunakan untuk menjinjing ember tersebut. Caranya mudah: Letakkan taplak di atas meja. Setelah itu taruh ember di atasnya. Talikan keempat ujung taplak sehingga bisa dijinjing. Setelah siap, bisa langsung dibawa dalam perjalanan ke masjid untuk menjalankan ibadah Solat Id.
Setiap kepala keluarga berkewajiban membawa satu ember. Bagi keluarga yang kurang mampu, boleh mengganti ayam dengan telur dadar yang dibumbu.
Tradisi ini bisa ditemukan di desa-desa di Trenggalek dan Tulungagung. Dulunya, masyarakat kota juga masih menjalankan tradisi ini. Namun, mungkin karena rata-rata penduduk kota mudik saat lebaran, tradisi ini kemudian hanya bisa ditemukan di desa. Menurut Ibu, tradisi ini dilaksanakan sebagai bentuk syukur dan terima kasih kepada Tuhan. Selain itu, tradisi ini juga bisa dijadikan sarana untuk mempererat silaturahmi karena pada saat Solat Id, hampir seluruh warga dusun akan hadir membanjiri masjid mereka. Namun sayangnya, aku belum mendapatkan informasi yang jelas mengenai sejarah kapan dimulainya dan siapa yang memprakarsai tradisi ini.
Sesampainya di masjid, ember yang dibawa oleh masing-masing keluarga akan ditata di pinggir-pinggir ruangan dekat dengan tempat solat perempuan. Kenapa demikian? Karena di sini, perempuan tertutama yang sudah berumur menjadi semacam pemandu acara makan-makan tersebut: apa bagian sana sudah dapat bagian? apa ember-ember ini cukup untuk semua yang hadir?
Selepas solat Id, akan ada khotbah dari dua penceramah. Anak-anak biasanya sudah tak sabar ingin segera menyantap lodho yang sepertinya sudah memanggil-manggil untuk segera dipurak. Jarang sekali yang mendengarkan khotbah. Ibu-ibu malah mulai mengobrol. Dari ruangan lelaki yang hanya berbatas kelambu, beberapa dari mereka juga terdengar mengobrol. Anak-anak lelaki balita malah sudah sejak dari awal bikin onar. Masjid terdengar ramai.
Selesai khotbah, aku selalu bersorak kegirangan dalam hati. Ember-ember berisi lodho akan mulai diedarkan, ke ruangan solat perempuan dan lelaki. Sedetik kemudian, semua yang hadir dalam solat Id akan gayeng menyantap jatahnya.
Cara pembagian pun simpel. Ember-ember diedarkan dengan ramdom, jadi kemungkinan aku mendapatkan ember Ibu sangatlah kecil. Aku hanya selalu berharap bahwa ember yang nanti kudapat akan berisi lodho yang seenak lodho Ibuku.
Satu ember biasanya diperuntukkan 3 sampai 5 orang, tergantung pengaturan dan jumlah ember yang tersedia serta jumlah orang yang hadir. Dalam satu kelompok, akan ada satu tetua yang dipercaya untuk "memoteng-moteng" ayam utuh tadi menjadi beberapa bagian. Favoritku adalah dada dan cakar. Setelah mendapat bagian potongan ayam, masing-masing bebas untuk mengambil nasi dari dalam ember. Sebagian besar memang memasak nasi gurih, tapi tak jarang pula ada satu dua orang yang memasukkan nasi biasa ke dalam ember.
Mendapat nasi biasa rasanya sama sialnya seperti mendapat telur dadar bumbu. Kalau sudah begitu, aku yang masih kanak-kanak ingin saja buru-buru pulang dan makan sendiri di rumah dengan sisa nasi gurih yang ada di magic jar dan lodho yang sudah terpotong bersama kuah di dalam wajan.
Namun, meskipun begitu, makan lodho saat lebaran adalah peristiwa yang selalu ditunggu, baik oleh anak kecil maupun orang dewasa. Dan jika dapat telur atau nasi biasa anggap saja sedang dapat zonk. Wakakakakak.
No comments:
Post a Comment