Monday, July 14, 2014

Nostalgia Berburu Kembang Turi

Sebelum berbicara lebih jauh tentang kembang turi, ada baiknya kita cari tahu apa sih pohon turi itu?? (Karena aku yakin banyak yang mungkin tidak mengenal pohon ini).

Menurut wikipedia, pohon turi merupakan pohon kecil dari suku Fabaceae. Berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, pohon ini kini tersebar di berbagai wilayah tropis dunia. Pohon ini memiliki berbagai nama di berbagai daerah, antara lain toroy (madura), suri (Sulawesi Utara), ajatulama (Bugis), dan agathi (Inggris).

Pada jaman dulu ketika aku masih TK sampai SD, pohon yang bernama latin Sesbania grandiflora ini ditanam berjajar di pinggir kali. Kini pinggiran kali ditanami dengan tumbuhan lain yang lebih beragam, tergantung keinginan pemilik rumah yang menghadap masing-masing tepian kali. Mungkin pohon turi tak lagi diminati karena daunnya yang sering rontok ketika kering dan membuat jalanan dan halaman rumah menjadi kotor.


Ada yang spesial dari pohon turi, yaitu bunganya. Kami orang Jawa menyebutnya kembang turi. Bunga turi tergolong besar dan keluar dari ketiak daun. Ketika kuncup berbentuk seperti sabit, ketika mekar berbentuk seperti kupu-kupu dengan putik kuning yang mencuat dari dalam. Warna bunga turi ada yang putih, ada yang merah, ada pula yang gabungan keduanya.

Bagi masyarakat Jawa, kembang turi sangat enak untuk direbus dan dibuat lalapan. Sering pula, kembang turi dicampur dalam pecel. Sebelum direbus, terlebih dahulu putiknya dihilangkan untuk menghindarkan rasa pahit yang nyelekit. Memang tak berasa, tapi entah bagaimana masyarakat Jawa sangat menggemarinya. Mungkin karena warnanya yang berbeda mampu memberikan nuansa lain dari sayuran yang rata-rata hijau? Atau mungkin karena sensasi 'renyah' dari kembang turi ini sendiri? Atau mungkin karena khasiatnya? Atau mungkin rasa pahit dari percikan putik ini justru yang dicari?

Ah, entahlah. Yang jelas masyarakat di desaku juga sangat menggemari sayur dari kembang turi ini. Pohon turi yang berjajar di sepanjang kali seolah menjadi surga kembang turi bagi kami, yang menjadikan kami tak perlu susah-susah mencari kembang turi di pasar.

Dan bagi kami anak kecil, kembang turi telah menciptakan sebuah dunia petualangan seru yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Siang sepulang sekolah, ketika matahari panas memanggang, aku bertemu dengan beberapa teman sepermainan untuk berburu kembang turi. Kadang juga hanya ada aku dan adik kembarku.

Berbekal galah panjang dari bambu dan satu kresek plastik besar, kami siap berpetualang memburu kembang turi. Pohon turi memang tinggi-tinggi, bisa mencapai 5 sampai 12 meter. Sementara tinggi kami kanak-kanak hanya satu meter lebih sedikit. Itulah sebabnya, kembang turi sedikit susah dicari. Orang-orang biasanya lebih suka memunguti kembang turi yang sudah jatuh di jalan.

Kembang turi yang jatuh kadang tak lagi segar. Selain itu, menurutku, cara itu terlalu instan. Aku ingin yang lebih menantang. Apalagi jika mendengar cerita-cerita tentang bagaimana kerennya anak-anak desa jaman dulu dalam berburu kembang turi. Termasuk kedua kakak perempuanku yang juga mempunyai pengalaman seru berburu kembang turi. Hal inilah yang membuatku lebih suka berburu kembang turi dengan galah ketimbang hanya memunguti yang jatuh di jalan.

Setelah berhasil 'kabur' dari pengawasan ibu pada siang hari, aku dan adik kembarku akan berjalan beriringan di sepanjang jalan. Kalau kebetulan ada teman, kami akan janji ketemuan di satu titik. Jika tidak, ya hanya kami berdua yang beraksi.

Mata kami akan mengawasi rerimbunan daun turi, siapa tahu ada bunga putih atau merah yang sudah menyembul dari balik ketiak daun. Daun-daun yang rindang, ditambah klentang (buah turi yang berbentuk polong memanjang) yang menjulur-julur, membuat si kembang turi ini tersembunyi dan sulit ditemukan. Justru inilah titik keasyikannya: karena susah dicari, begitu dapat rasa senangnya akan berkali-kali lipat.

Dengan galah panjang itu kami mencoba menyibak daun-daunan. Dan.... itu dia! Kembang berwarna putih menggoda-goda kami untuk meraihnya. Dengan sedikit gerakan galah, bunga akan terlepas dari tangkai bunga dan jatuh dengan ringan ke tanah. Tangan lain akan siap memungutnya dan memasukkan ke dalam tas kresek.

Berburu kembang turi sebenarnya juga untung-untungan. Ketika sedang musim berbunga, kami bisa membawa pulang satu tas kresek penuh. Ketika sedang tak berbunga, 10 kembang saja sudah untung.

Alasanku dan adikku berburu kembang turi sebenarnya bukan untuk dimasak. Hanya untuk pasaran saja. Namun, seringkali kembang turi yang kami titipkan di kulkas (untuk kami pakai pasaran esok harinya) terlebih dahulu telah tertangkap mata ibu dan segera diolahnya di dapur untuk lauk. Ketika sore harinya sepiring kembang turi rebus terhidang di meja, kami tahu bahwa esok tak akan ada kembang turi untuk pasaran. :(

Mau dimakan ataupun dipakai pasaran, kembang turi telah menghadirkan kenangan tersendiri buatku si anak desa. Perjuangan untuk berburu dengan galah itulah terlebih-lebih yang tak bisa kulupakan. Kadang ketika sedang membeli pecel di Surabaya, dan kebetulan si penjual juga menyediakan kembang turi sebagai sayurnya, aku selalu terbawa ke masa kecilku ketika berburu kembang turi. Ingin rasanya mengulanginya.... Oh....

No comments:

Post a Comment